Mangrove Sebagai Benteng Pertahanan Pesisir Dari Ancaman Tenggelamnya Daratan

 

Mangrove merupakan salah satu jenis ekosistem alam berupa hutan yang tumbuh di air payau, banyak tumbuh di wilayah tropis dan subtropis, tepatnya di daerah muara air sungai dan di pesisir laut dikarenakan lokasi tersebut cocok untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan mangrove. Pada umumnya, mangrove (Rhizophora apiculata) sebagai tumbuhan pengikat tanah membutuhkan waktu setengah tahun untuk menjadi benih layak tanam dengan panjang 20 sentimeter dan berdaun dua pasang. Sedangkan untuk menjadi mangrove yang sanggup jadi penahan gelombang laut dibutuhkan waktu 5-10 tahun. Mangrove memegang beberapa fungsi penting. Pertama, berfungsi untuk mencegah abrasi dan instrusi air laut di pesisir pantai. Hutan mangrove juga berperan sebagai habitat berbagai organisme pantai, seperti alga, udang dan kepiting. Telah diketahui bahwa perairan di sekitar hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi karena serasah mangrove yang diekspor ke perairan di sekitarnya, bahkan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding ekosistem lainnya. Selain itu hutan mangrove juga dapat difungsikan sebagai penyedia sumber daya hayati yang memiliki nilai ekonomis seperti kayu. mangrove sebagai tempat tumbuhnya tanaman mangrove dapat menjadi penyerap karbon dioksida untuk mengurangi gas rumah kaca. Terakhir, ekosistem mangrove mampu menjadi objek wisata yang menguntungkan warga sekitar.

Dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999,kementerian kehutanan menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok, yaitu 1)hutan konservasi, 2)hutan lindung, 3) hutan produksi. Hutan mangrove sendiri merupakan hutan konservasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengkuhan Kawasan Hutan. Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007, ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. UU nomor 27 juga menegaskan bahwa mangrove merupakan sumberdaya pesisir/Pasal 1(4). Keberadaan mangrove sendiri juga diatur dalam Perpres Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 tentang strategi nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove meliputi pasal 1-13.

Namun pada kenyataannya, regulasi yang ada masih membuat ekosistem mangrove tetap berkurang saat ini. Baik pemerintah dan masyarakat dirasa kurang andil dalam pelestarian mangrove. Pemerintah terkesan gagal dalam merumuskan kebijakan yang memang spesifik ke lingkungan dan kurang dalam memberikan penyuluhan dalam masyarakat, sehingga masyarakat pesisir yang notabene minim pengetahuan menjadi kurang aware, pada akhirnya regulasi yang ada seringkali dilanggar. Kondisi ini sangatlah miris, melihat kerusakan hutan mangrove terjadi dimana-mana dan semakin merata di berbagai wilayah Indonesia. Luas hutan mangrove jika dilihat dari tahun 1999 sekitar 8,6 juta hektare. Namun, dalam rentang waktu 1999 sampai dengan 2005, hutan mangrove semakin berkurang sebanyak 5,58 juta hektare. Dari tahun 2006 berkisar 7,7 juta hektar. Dalam survey kementerian kehutanan selanjutnya, ditemukan hanya tinggal tersisa kurang lebih 3 juta hektar. Penurunan yang drastis ini juga semakin dirasakan apalagi pada tahun 2021 ini.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, luas Hutan mangrove dunia 16.530.000 Ha, dimana Indonesia memiliki 3.490.000 Ha atau 21% mangrove dunia. Saat ini, luas mangrove Indonesia mengalami penurunan luasan dimana data satu peta mangrove tercatat seluas 3.311.208, dimana 637.624 Ha (19,26%) dalam kondisi kritis (atau penutupan tajuk kurang dari 60%) sedangkan mangrove dalam kondisi baik seluas 2.673.548 (80,74%). Berbagai faktor yang memicu tingginya angka penurunan luasan mangrove dapat disebabkan oleh konversi menjadi areal untuk tempat tinggal manusia, dan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan serta lahan pertambakan. Peneliti Balai Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan sebenarnya hampir sebagian besar pesisir di Indonesia dulu ditumbuhi mangrove, namun karena perkembangan zaman banyak yang ditebang untuk berbagai kebutuhan. Saat hendak ditanami kembali KLHK menemukan banyak sekali kendala. Isu konflik lahan menjadi salah satunya, lalu ada pula lahan yang tidak bisa ditanami lagi karena ekosistemnya yang sudah berubah sehingga tidak sesuai lagi ditanami mangrove.Jika dulu sejumlah kawasan merupakan hutan mangrove namun sekarang ada masyarakat yang klaim itu merupakan tanah mereka. Sehingga ada yang ingin ditanami mangrove lagi jadi sulit karena masyarakat menolak, lebih memilih tetap menjadi tambak karena dianggap lebih menguntungkan meski itu masih menjadi perdebatan.

Sama halnya di daerah Kalimantan Timur, Delta Mahakam merupakan delta terbesar di Indonesia, kisaran luas 150 ribu hektare. Sebelumnya, kawasan tersebut didominasi ekosistem mangrove yang tercipta secara alami. Sayang, kini lebih setengah kawasannya telah mengalami deforestasi cukup serius. Deforestasi di Delta Mahakam terjadi dari hasil perubahan tutupan lahan di Kaltim, selama peride 10 tahun. Tepatnya dari 2006-2016. Secara lebih luas, penyebab terbesar deforestasi di Kaltim adalah perkebunan kelapa sawit, yang mencapai 576.188 hektare. Atau jika di persentasekan mencapai 51 persen. Yang mencolok dari hal ini ialah aktivitas tambak dengan 1 persen kontribusi deforestasi di Kaltim seluas 11.046 hektare, dari beberapa penelitian didapati mengokupansi 54-70 persen luas Delta Mahakam, mencakupi tutupan area sekitar 60 ribu-63 ribu hektare hutan mangrove menjadi tambak. Berdasarkan laporan Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kutai Kartanegara (BPPD Kukar) di 2003 juga menunjukkan seluas 107,221 hektare daratan Delta Mahakam telah diokupansi 10.645 tambak tradisional dengan luas 57.912 hektare atau 54 persen dari luas daratan. Rata-rata tambak memiliki luas 5,4 hektare. Dua tahun kemudian, DKP Kukar mendata luas tambak di kawasan tersebut, dimana ada peningkatan, menjadi 75.311 hektare atau sekitar 70 persen luas daratan delta. Sejumlah studi memperlihatkan deforestasi mangrove Delta Mahakam selama 2000-2015 mencapai 489,73 hektare per tahun. Situasi itupun menjadi persoalan serius, karena mengurangi fungsi mangrove yang sangat krusial bagi lingkungan. Sistem perakaran mangrove yang kuat mampu menahan empasan gelombang dan mencegah abrasi pantai serta intrusi air laut. Juga sebagai peredam gelombang dan badai, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Seluruh fungsi itu lah yang membuat ekosistem mangrove kerap disebut zona penyangga, alias buffer zone.

Jika dilihat dari segi ekonomi, lahan tambak sendiri memang lebih menguntungkan masyarakat di daerah pesisir daripada mangrove. Dalam beberapa investigasi sosial, sebenarnya masyarakat paham betul akan pentingnya mangrove untuk rumah ikan, tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain karena menganggap laut merupakan sumber kehidupan. Sehingga dalam hal ini, permasalahan utamanya adalah masyarakat belum menemukan titik jenuh dalam mengeksplorasi sumber daya tersebut dan mereka belum aware dampak negatif jika mangrove terus dikonversikan menjadi tambak, selain itu belum ada tindakan yang membuat masyarakat tahu akan sumber kehidupan selain laut yang dapat diberdayaan. Banyaknya lahan mangrove yang beralih fungsi menjadi wilayah tambak seperti berbanding lurus dengan adanya isu tenggelamnya wilayah daratan di kisaran tahun 2030-2050. Prediksi kawasan DKI Jakarta bakal tenggelam 10 tahun ke depan makin santer disampaikan oleh banyak pihak. Belakangan, selain LIPI, LAPAN, NASA, hingga Presiden AS Joe Biden pernah mengutarakan. Bahkan tak hanya Jakarta, kota lain seperti  Semarang, Demak, dan Pekalongan, Surabaya, dan beberapa kota lain di wilayah Pantai Utara Jawa bisa sama nasibnya. Juru Kampanye laut Greenpeace menuturkan pada umumnya kota-kota pesisir di Indonesia terancam kehilangan sejumlah daratan di wilayah pesisirnya secara permanen pada dua hingga tiga dekade mendatang. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi wilayah pesisir seperti Jakarta akan tenggelam atau kehilangan sejumlah daratannya. Pertama karena penurunan muka tanah (land subsidence). Kedua, perusakan ekosistem penting alami di pesisir laut terutama mangrove, terumbu karang,dan padang lamun (marine ecosystems destruction). Selain itu, naiknya muka air laut dan pembangunan di kawasan pesisir yang tidak berkelanjutan, misalnya reklamasi juga menjadi dua penyebab lain yang membuat Jakarta dan sejumlah kawasan pesisir tenggelam.

Optimalisasi penanaman mangrove dapat menjadi salah satu cara untuk mempertahankan pesisir dari ancaman tenggelamnya daratan. Hal ini karena dengan adanya mangrove dapat memukul mundur perairan yang masuk ke daratan. Namun, tidak dipungkiri bahwa mangrove memerlukan waktu lama untuk tumbuh sehingga dibutuhkan waktu untuk berbenah. Mahasiswa sebagai agent of change dapat menjadi inisiator untuk mengajak masyarakat dan pemerintahan. Pemberian awareness tentang mangrove juga  harus diberikan sejak dini dan dibarengi dengan aksi nyata menanam mangrove yang berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah Indonesia dan pihak terkait perlu melakukan pengkajian ulang dan menaati rencana tata ruang termasuk di kawasan pesisir yang mempertimbangkan pemulihan kualitas lingkungan hidup, pelestarian ekosistem, dan pengurangan risiko bencana. Hal itu dinilai perlu untuk mengurangi dampak kerugian ekonomi dan sosial akibat tenggelamnya sebuah kota, perubahan iklim dan perusakan lingkungan. Jakarta dan kota-kota pesisir lainnya di Indonesia akan semakin cepat ‘tenggelam’ jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dalam menjalankan pengendalian pembangunan berdasarkan rencana tata ruang yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan.