DILA (Diskusi Lingkungan Alam)

Sabtu, 8 Mei 2021

Penghapusan Limbah FABA dari Kategori Limbah B3

 

Limbah B3 yaitu singkatan dari bahan berbahaya dan beracun yang berarti sebuah zat, energi, dan komponen lain yang sifatnya secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan lingkungan, merusak, membahayakan lingkungan hidup atau bahkan sampai membahayakan makhluk hidup lain seperti manusia. Sudah banyak dari kalangan warga sekitar yang berada dekat dengan daerah pertambangan seperti daerah pabrik batubara, minyak bumi, dan pertambangan lainnya yang memiliki efek samping berupa limbah. Limbah sendiri memilki arti sebagai sisa kotoran dampak dari kegiatan manusia berupa cair, padat, maupun gas yang dinilai sudah tidak layak dan tidak memilki nilai ekonomis sehingga cenderung untuk dibuang. Pengertian limbah sering di anggap hampir mirip dengan pengertian sampah. Akan tetapi, jika sampah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang berasal dari aktivitas manusia atau dari proses alam yang belum memilki nilai ekonomis. Jadi, jika di Indonesia sendiri dalam hal penanganan sampah sudah banyak orang yang turut mengolah sampah menjadi barang yang lebih bisa mendapatkan nilai ekonomis. Sedangkan di Indonesia, untuk penanganan limbah khususnya pada limbah B3, masih perlu belajar dari luar negeri yang sudah memilki teknologi pengolah limbah B3 terpercaya sebab salah satu hal yang menjadi pokok permasalahan terutama di Indonesia yaitu terkait limbah-limbah industri yang sebetulnya masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku, namun seperti sering terdengar oleh publik bahwa limbah-limbah tersebut digeneralisir sebagai limbah berbahaya. Hal inilah memerlukan penerapan teknologi dari negara lain yang diperlukan dalam perumusan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) agar tidak berimbas buruk kepada lingkungan alam sekitar. Salah satu limbah yang masuk dalam kategori limbah B3, yaitu limbah FABA yang telah banyak membuat korban pedesaan di sekitar pabrik merasa terkena dampak buruk dari limbah tersebut. Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah terjadi, maka tulisan ini akan dibatasi oleh dua permasalah, yakni apa yang sebenarnya dimaksud dari limbah FABA ? Lalu Lalu apakah keputusan pemerintah untuk mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3 sudah tepat?

FABA yaitu singkatan dari Fly Ash and Bottom Ash dimana limbah ini dapat ditemukan pada bekas pembakaran batu bara pada sistem PLTU. Dikarenakan jumlahnya yang cukup besar, limbah FABA dimasukkan ke dalam golongan limbah B3 oleh LHK berdasarkan PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengendalian Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Karena limbah FABA termasuk limbah B3, maka diperlukan penanganan khusus dalam mengolahnya. Namun, kenyataannya pengolahan limbah tersebut memerlukan prosedur perizinan dan birokrasi yang mahal. Hal ini menyebabkan limbah tersebut tidak diolah dengan baik dan menjadi mangkrak. Keadaan di Indonesia, sebagian besar pasokan listrik berasal dari PLTU dimana bahan bakarnya merupakan batu bara sebagai bahan pembangkit listriknya. Pada tahun 2019, kebutuhan batu bara Indonesia sebanyak 9,7 ton dan jumlah limbah FABA yang dihasilkan yaitu 10% total batu bara yang digunakan sebagai bahan bakarnya. Tingginya jumlah penggunaan batu bara tersebut karena kebutuhan akan listrik di Indoneisa yang tinggi dan masih menggunakan energi tidak terbarukan. Maka diprediksikan untuk konsumsi batu bara di Indonesia akan naik mencapai kurang lebih 153 juta ton beberapa tahun ke depan. Dengan dikeluarkannya FABA dari golongan limbah B3, pemerintah mengharapkan bahwa industri di Indonesia dapat meniru negara-negara yang dapat mengolah FABA dengan baik, antara lain Amerika Serikat, Tiongkok, India, Jepang, dan Negara di Eropa. Negara-negara tersebut memandang FABA adalah suatu limbah yang sebenarnya bisa digunakan kembali. 

Nilai positif dari dijadikannya FABA menjadi non B3 adalah limbah FABA ini memiliki karakteristik yang cocok dalam pembuatan material pencampur semen; FABA juga mengandung banyak silika untuk dijadikan pupuk; FABA dapat dijadikan bahan antibakar dan antikorosi; Jumlah FABA yang banyak dapat digunakan untuk pelindung pantai; dan FABA dapat dijadikan cornblock dan bahan bangunan serta bahan konstruksi jalan. Selain itu, dengan dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3, dapat meminimalisir terjadinya korupsi. Untuk dapat dikategorikan menjadi limbah non B3, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain dalam sistem pembakarannya harus menggunakan temperature yang tinggi untuk mengurangi zat-zat kimia di dalamnya. Di samping itu, industri harus mampu meminimalisir limbah yang dihasilkan sebelum melakukan pengelolaan limbah. Setelah dihasilkannya limbah FABA, maka dilakukan pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun (from cradle to grave) dan pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular (from cradle to cradle). Dampak buruk jika FABA dikategorikan menjadi limbah non B3, yaitu ada beberapa daerah yang berada di sekitar PLTU terdapat konsentrasi limbah batu bara yang cukup tinggi. Aktivis menambahkan bahwa FABA dari pembakaran batu bara mengandung partikel beracun berupa arsenic, merkuri dan kormium. Selain itu, FABA juga dapat mengganggu pernapasan masyarakat sekitar industri. Limbah FABA juga dapat merusak biota laut, sungai, dan pesisir karena air yang menjadi asam.  

Terdapat pendapat yang menyatakan setuju jika limbah FABA dijadikan non B3 dengan syarat dilakukan pengolahan yang benar sehingga dapat mengurangi dampak buruknya. Namun, ada juga pendapat yang tidak setuju dengan dikeluarkannya limbah FABA dari limbah B3, karena jika dikeluarkan dari kategori limbah B3, maka dikhawatirkan perusahaan tersebut menjadi tidak punya kewajiban untuk mengolahnya dengan baik. Selain itu, untuk dapat mengolah FABA menjadi barang lain seperti konstruksi diperlukan sistem dan pengelolaan yang baik dan matang terlebih dahulu serta teknologi yang mencukupi untuk mengolahnya. Sedangkan sistem pengelolaan sampah di Indonesia saja belum optimal. Jika tidak diolah dengan baik, maka zat-zat beracun yang terkadung akan masuk ke tanah lagi kemudian masuk ke sistem air dan dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Ditambahkan juga dengan pedapat bahwa limbah FABA masih harus dimasukkan ke dalam kategori limbah B3. Karena jika dikeluarkan dari kategori B3, perusahaan-perusahaan akan menjadi tenang karena tidak ada aturan yang mengikat sehingga limbah yang dihasilkan menjadi mangkrak. Pengkategorian ini sangat berpengaruh pada proses pengolahannya karena ada perbedaan sistem dan metode dalam pengolahan limbah B3 dan non B3. Terdapat juga pendapat yang menyatakan bahwa tidak memilih keduanya. Karena inti masalahanya adalah tidak ada peraturan dengan regulasi yang jelas dalam pengolahannya sehingga tidak ada efek jera bagi pengusaha-pengusaha yang nakal. Jadi, hal terpenting selain dalam kesiapan dari segi pengelolannya yaitu diperlukan perbaikan sistem regulasi yang benar terlebih dahulu. 

Hal ini mengarah pada pertanyaan apakah dengan dikeluarkannya limbah FABA dari kategori B3 mampu menarik pengusaha nakal yang tidak mau mengolah limbahnya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa baik dimasukkan dalam kategori B3 maupun non B3, akan tetap ada masalah yang muncul dan belum bisa menarik pengusaha nakal. Dari pihak pengusaha juga, seakan-akan membebankan resiko kesehatan ke masyarakat. Ada juga yang beranggapan bahwa dikeluarkannya dari kategori B3 dan akan diolah pun hanya akan menguntungkan beberapa pihak saja. Jadi, baik dimasukkan dalam kategori B3 maupun non B3 itu tergantung pada pelaku usaha dan bagaimana pengolahannya. Pendapat lain menyatakan bahwa keputusan dikeluarkannya limbah FABA ini ditujukkan untuk mempermudah pembangunan PLTU di Indonesia. Sebenarnya, pada intinya adalah permasalahan ini kembali lagi kepada pemerintahan pada regulasi yang berlaku. Lalu untuk mengatasi limbah FABA yang dihasilkan maka harus meminimalisir pemakaian batu bara. Oleh karena itu, diperlukan pembangkit listrik dari tenaga yang terbarukan. Beberapa sumbernya yaitu air, udara, dan matahari dimana hal tersebut tersedia dengan jumlah melimpah di Indonesia. Namun sisi denegatifnya yaitu diperlukan lahan yang luas untuk membuat pembangkit listrik. Salah satu solusi hidup sustainable dapat menggunakan sumber matahari di tiap rumah walaupun belum dapat mencukupi kebutuhan listrik secara keseluruhan. Pembangkit listrik tenaga gelombang juga dapat dipertimbangkan mengingat Indonesia memiliki wilayah laut yang luas. Selain itu, pembangkit listrik tenaga geothermal juga patut dicoba karena Indonesia dilewati dua cincin api yang dapat dimanfaatkan. Disamping itu, tenaga nuklir juga dapat dikembangkan walaupun beresiko dan mahal serta masih dalam pengembangan, namun dari tenaganya dapat mencukupi kebutuhan listrik di seluruh Indonesia. Jadi, apapun sumber tenaga listrik yang digunakan yang terpenting adalah keseimbangan antara lingkungan dan sektor ekonominya dan selama dapat memeuhi kebutuhan orang banyak, menaati amdal, dan sadar akan SDGs dan problematika lingkungan.