SAWIT DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Tahukah kalian apa itu Industri 4.0? Telinga kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah Industri 4.0 ini. Istilah yang juga digema-gemakan oleh masyarakat. Menurut Wikipedia, Industri 4.0 adalah suatu tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik mencakup Cyber Physical System (CPS), Internet of Things (IoT), cloud computing, dan komputasi kognitif. Industri 4.0 yang diprediksi memiliki potensi manfaat yang besar. Sebagian besar pendapat mengenai potensi manfaat Industri 4.0 adalah mengenai perbaikan kecepatan fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan, dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya potensi manfaat tersebut akan memberi dampak positif terhadap perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Presiden Indonesia Joko Widodo pada tanggal 4 April 2018 meluncurkan Making Indonesia 4.0 yaitu suatu road map dan strategi dalam memasuki era digital dunia. Penyusunan peta jalan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik dari pemerintah, asosiasi industri, pelaku usaha, penyedia teknologi, maupun lembaga riset, dan pendidikan. Melalui strategi ini, pemerintah nantinya akan fokus pada lima teknologi utama yaitu (1) Internet of Things, (2) Artificial Intelligence, (3) Human-machine Interface, (4) teknologi robotik dan sensor, dan (5) teknologi 3D printing. Kelima jenis teknologi tersebut berkontribusi besar terhadap pendapatan kotor domestik Indonesia dan memiliki daya saing internasional.
Seperti paparan di atas, Industri 4.0 ini memang menawarkan banyak manfaat. Namun, tentu semua itu tidak terlepas dari dampak negatif yang dihadapi. Lingkungan menjadi salah satu contohnya. Tuntutan industri yang semakin meningkat serta teknologi yang semakin maju, berdampak pada kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Sejak revolusi industri dicetuskan pada abad 17, telah banyak membawa perubahan yang menempatkan industri dan manusia sebagai perusak utama alam. Ditambah dengan limbah dan polusi yang dihasilkan dari produksi membuat lingkungan semakin rusak. Selain itu, perkembangan industri dan aktivitas pembangunan yang didorong dengan tingginya tuntutan ekonomi membawa manusia pada perilaku serakah yang menjadikan lingkungan melampaui batas-batasnya, seperti contohnya tindakan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan komoditas penting di pasar lokal, regional, bahkan global. Di Indonesia, sawit merupakan salah satu primadona industri. Terbukti bahwa pada industri sawit nasional sepanjang tahun 2020 menghasilkan devisa sebanyak US$ 25,6 miliar atau sekitar Rp358,4 triliun. Selain itu, industri kelapa sawit juga telah menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 16 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, fakta yang terjadi sebaliknya. Hanya pemilik industri dan pekerja yang merasakan hal tersebut. Selanjutnya dari kacamata ekonomi, hal ini adalah peluang yang sangat besar. Oleh karena itu, banyak pengusaha sawit, seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta dan petani di Indonesia melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi permintaan pasar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama 2015-2019, tren luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia cukup fluktuatif. Tercatat pada tahun 2019, luasnya mencapai 14,6 juta hektare (ha). Memang betul ada lebih banyak keuntungan ekonomis bagi Indonesia, tetapi berapa banyak pula areal hijau yang dikorbankan? Mengingat banyak sekali barang-barang kebutuhan rumah tangga yang membutuhkan CPO sebagai bahan bakunya, seperti mie instan, sabun, deterjen, biodiesel.
Adanya kenaikan dari ekspansi hutan sawit ini, memberikan dampak negatif. Pertama, berkurangnya ketersediaan air tanah dan dapat menurunkan permukaan air tanah. Hal ini terjadi karena tumbuhan sawit tidak dapat menyerap air hujan dan tidak dapat menyimpan cadangan air bawah tanah ketika terjadi musim kemarau. Padahal, tumbuhan ini termasuk tumbuhan yang memerlukan ketersediaan air relatif banyak. Kedua, pengembangan (ekspansi) kelapa sawit mengakibatkan eksternalitas, seperti pencemaran air, erosi tanah, dan pencemaran udara. Pencemaran air dan tanah karena penggunaan pupuk dan pestisida dan pencemaran udara karena pembukaan lahan dengan metode pembakaran. Ketiga, menimbulkan deforestasi yang akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang dapat mempengaruhi iklim. Hal ini disebabkan karena tidak mampu untuk menyerap karbon sehingga karbon terlepas ke atmosfer.
Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai langkah untuk tetap mempertahankan nilai ekonomi yang tinggi. Namun, tetap memperhatikan dampak terhadap lingkungan yaitu dengan menciptakan standardisasi tersendiri dalam suatu sertifikasi yang bernama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). ISPO adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan yang didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Regulasi ISPO sendiri sebelumnya diterapkan pemerintah berdasarkan Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) Nomor 11 tahun 2015. Namun, pada perkembangan selanjutnya, keberadaan ISPO ini diatur di dalam Peraturan Presiden Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020. Di dalam konsepnya, ISPO memiliki tujuh buah prinsip dan kriteria yang mengatur tata kelola bagi setiap pihak dalam kepengurusan perkebunan komoditas kelapa sawit. Faktanya, temuan di lapangan terkait berbagai usaha perkebunan komoditas kelapa sawit nyatanya sungguhlah berbeda. Tidak sedikit temuan-temuan yang ternyata bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam regulasi-regulasi yang telah ditetapkan, utamanya ISPO. Temuan-temuan tesrsebut justru menyalahi esensi dari ISPO itu sendiri. Lalu apa solusi yang tepat untuk mengatasi permalasahan ini? Terdapat pendapat bahwa harusnya ISPO sudah menjadi solusi yang terbaik karena merupakan refleksi dari pengelolaan–pengelolaan yang ada, hanya saja perlu dipertegas dalam aturan turunannya yaitu dari pusat hingga perusahaan. Aturan tersebut harus disepakati agar tidak tumpang tindih, meskipun terdapat pihak yang mengalami kerugian akibat kebijakan tersebut tidak bisa memuaskan semua pihak. Selain itu, perlu digaris bawahi bahwa para petani dan pengusaha harus memahami ISPO. Maka, perlu lembaga untuk memberikan pemahaman mengenai hal ini agar dapat menghayati dan merefleksikannya.
Melihat dari keuntungan penerapan teknologi industri 4.0 memang benar revolusi ini bisa menjadi sebuah peluang ekonomi yang besar. Tetapi, pemaparan di atas menjabarkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh revolusi industri 4.0 yang sangat kompleks sehingga berpotensi menjadi sebuah ancaman untuk keberlangsungan hidup manusia. Perbedaan pendapat tentang kesiapan Indonesia menerapkan Industri 4.0 sangatlah wajar. Terdapat pendapat bahwa Indonesia sudah siap menjalani hal tersebut karena Indonesia merupakan salah satu negara besar. Jika dilihat dari segi regulasi, pemerintah sudah menyiapkan. Walaupun di lapangan ditemukan banyak pelanggaran yang terjadi. Jika kita tidak siap dari sekarang kita akan menjadi negara mundur karena zaman berkembang secara dinamis. Bertentangan dengan pendapat tersebut, Indonesia belum siap menerapkan teknologi Industri 4.0 karena masih ada banyak tugas yang harus dibangun dalam pembangunan ekonomi. Indonesia masih belum menjadikan lingkungan sebagai salah satu fokus yang harus diperhatikan karena peran dari salah satu pihak tidak cukup. Pendapat tersebut diperkuat dengan adanya perusahaan industri yang belum memperhatikan lingkungan.
Jika kita membicarakan ini secara terus menerus, tidak akan menimbulkan suatu hasil yang pasti, karena setiap orang mempunyai pendapat dan kepercayaan masing-masing. Untuk itu, diperlukan persiapan yang matang bagi negara dan setiap individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang di bawa industri ini. Karena kita tidak dapat mencegah perkembangan Industri ini. Arus globalisasi juga lambat laun akan membawa pengaruh industri 4.0. Jadi, kesimpulan yang dapat diambil, kita bukannya menginginkan perkebunan kelapa sawit tidak dikembangkan di Indonesia. Kita tidak benar-benar menolak sawit. Hal yang dinginkan dan perlu dikritisi adalah pengelolaannya agar bisa menjadi baik dan berkelanjutan.