The Lip Service of Government :
Luka Bumi Indonesia Di tengah Pusaran Pertambangan
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah di indoensia, sebagian telah dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia dan sebagian lainya masih berupa potensi yang belum dimanfaatkaan karena berbagai keterbatasan seperti kemampuan teknologi dan pengelolaan ekonomi. Dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tentunya negara sebagai penguasa sumber daya alam memiliki peran penting untuk mengelola potensi yang ada dan dimanfaatkaan seutuhnya untuk kepentingan serta kesejahteraan rakyat sehingga untuk melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, negara memerlukan partisipasi banyak pihak seperti badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha pertambangan. Lalu bagaimana peran sektor tambang di Indonesia serta adakah relasi antara sektor tambang dengan masyarakat adat ? Dan bagaimana hukum sektor tambang dengan UU Minerba serta hubungan dengan UU KPK yang hingga saat ini masih menuai perdebatan panjang ? Tujuan dari penulisan artikel ini ialah agar mengetahui peranan tambang dalam lingkup Indonesia baik dari segi keuntungan maupun kerugian. Selain itu, agar mengetahui sektor tambang jika ditinjau dari sisi hukum karena masih dalam ruang lingkup UU Minerba dengan UU KPK.
Beberapa peranan penting sektor pertambangan antara lain, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan, menambah pendapatan daerah serta negara, dan memajukan bidang transportrasi dan komunikasi di Indonesia. Akan tetapi, dibalik peranan penting tersebut terdapat berbagai masalah yang juga ditimbulkan, yaitu berupa konflik, terjadi antara masyarakat dan perusahaan atau pihak yang terkait dengan pertambangan. Contoh kasus pertama, pada April sampai Desember 2020 sedikitnya 13 orang di Bangka Belitung dilaporkan PT Timah ke aparat kepolisian dengan tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan yang diatur dalam pasal 162 UU Minerba. Dari 45 konflik pertambangan yang tercatat terdiri dari 22 kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, 8 kasus kriminalisasi warga yang menolak tambang dan 2 kasus pemutusan hubungan kerja. Kedua, kerusakan lingkungan akibat tambang yang dihasilkan adalah pencemaran akibat air limbah yang dibuang langsung ke daerah aliran sungai dan adanya bekas area penggalian tambang yang tidak ditutup kembali. Keduanya sangat merugikan bukan hanya untuk flora dan fauna semata, tetapi juga manusia. Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di Kalimantan Selatan. Dan berdasarkan catatan Jatam Kaltim, sudah 39 jiwa melayang dan tewas tenggelam di lubang tambang batu bara yang tidak direklamasi.
Ketiga, perizinan dan korupsi yang merupakan 2 hal tidak dipisahkan dan saling berkesinambungan dengan adanya perizinan yang seenaknya atau bahkan perizinan yang ditemukan bermasalah bisa menciptakan penyelewengan dari pengusaha tambang yang ada. Menurut data dari KPK, pada tahun 2015-2019 terdapat 7.155 izin usaha pertambangan yang ditemukan bermasalah dan telah dihentikan. ICW pun mencatat sepanjang 2019 ada 4 kasus korupsi di sektor pertambangan. Meski jumlah kasusnya sedikit, nilai kerugian negara yang ditimbulkannya sangat besar, yakni mencapai Rp5,9 triliun. Janji penguatan KPK dan lingkungan hidup yang berkelanjutan menyebabkan adanya Revisi UU KPK dan UU Minerba, namun dengan adanya Revisi tersebut justru malah menjadikan pelemahan KPK dan mengesampingkan lingkungan hidup sehingga dengan adanya hal tersebut menguntungkan pengusaha tambang, terlebih membuat pengusaha tambang yang ada semakin bebas melakukan korupsi sektor pertambangan. Salah satu permasalahan tambang yang sedang hangat saat ini yaitu mengenai tambang di Pulau Sangihe. Pulau sangihe merupakan salah satu pulau kecil yang ada di Indonesia, tepatnya berada di sebelah utara pulau sulawesi dengan luas 736,89 km2. Kontroversi pertambangan mas di sangihe ini sudah muncul sekitar pada awal tahun 2021 dan kembali heboh pemberitaannya di media saat terjadi kematian wakil bupati sangihe yaitu Helmud Hontong yang menentang tambang emas di sangihe. Seperti yang kita ketahui, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) merupakan salah satu perusahaan yang telah mendapatkan IUP atau izin usaha pertambangan oleh kementerian ESDM yang disinyalir akan mengancam lebih dari setengah pulau atau sekitar 42.000 Ha (57% luas pulau sangihe).
Kontroversi izin pertambangan di Sangihe merupakan dampak dari perubahan kebijakan yang memangkas kewenangan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara alias UU Minerba, pemerintah pusat mempunyai kuasa untuk mengambil alih secara penuh perizinan dari daerah. Pihak daerah yang ikut melakukan penolakan tersebut, beranggapan bahwa kawasan di sangihe akan lebih baik jika dikelola oleh masyarakatnya sendiri melalui pembangunan dibeberapa sektor, seperti ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya. Dalam hal inipun menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai pertambangan itu sendiri seperti eksploitasi tambang sebenarnya untuk rakyat atau pengusaha. Dalam pertanyaan tersebut menurut beberapa pengakuan dari masyarakat di daerah pertambangan, mereka tidak mendapat dampak positif dari eksploitasi yang dilakukan, seperti jaminan pertambangan yang aman bagi lingkungan serta reklamasi pertambangan sendiri kewajiban pihak siapa, mengingat saat ini banyak sekali kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan walaupun pada dasarnya, terdapat dampak positif secara tidak langsung, yaitu infrastruktur jalan, komunikasi dan lainnya lebih dipermudah. Saat ini diperkirakan terdapat 7500 lubang bekas pertambangan menurut aturan lubang-lubang ini seharusnya diuruk kembali atau direklamasi. Perusahaan bahkan diminta untuk menyetor sejumlah uang jaminan untuk biaya reklamasi namun ini semata bukan tentang perusahaan yang melanggar aturan atau korupsi uang jaminan melainkan aturan pasca penambangan itu sendiri yang juga bermasalah.
Menyinggung mengenai sumber daya alam di Sangihe yang berupa kekayaan emas yang terkandung didalamnya yang memuat PT TMS atau Tambang Mas Sangihe merupakan salah satu perusahaan IUP atau sudah mendapatkan izin usaha pertambangan oleh kementerian ESDM. Dimana izin pertambangan tersebut disinyalir akan mengancam lebih dari setengah pulau atau sekitar 42.000 Ha (57% luas pulau sangihe). Kontroversi izin pertambangan di Sangihe merupakan dampak dari perubahan kebijakan yang memangkas kewenangan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan UU Minerba, pemerintah pusat mempunyai kuasa untuk mengambil alih secara penuh perizinan dari daerah. Pihak daerah yang ikut melakukan penolakan tersebut, beranggapan bahwa Kawasan di sangihe akan lebih baik jika dikelola oleh masyarakatnya sendiri melalui pembangunan dibeberapa sektor, seperti ekonomi, pariwisata, dan lai sebagainya. Namun, juga ada yang beranggapan lebih baik jika emas di Sangihe dikelola oleh perusahaan karena secara ekonomi akan lebih menguntungkan terutama bagi negara yang dihasilkan dari pajak. Bahkan ada juga yang beranggapan sumber daya alam yang ada di sangihe sebaiknya dikelola secara bersinergi antara masyarakat dan juga sebuah perusahaan karena dari segi masyarakat itu sendiri mengetahui batas – batas yang harus diambil dalam pengelolaan emas tersebut sehingga menjalin keberlangsungan lingkungan yang ada, sedangkan dari perusahaan itu sendiri dapat menimbulkan keuntungan dari segi ekonomis sehingga bisa memajukkan masyarakat itu sendiri dan juga negara. Dengan menitikberatkan harusnya ada batasan-batasan dari setiap pengelola baik itu masyarakat dan juga perusahaan yang ada. Perbedaan pendapat ini merupakan hal yang wajar karena kita menginginkan yang terbaik untuk Sangihe. Masing-masing pihak tentunya memiliki plus dan minusnya. Semoga kedepannya yang akan mengelola emas di Sangihe dapat memberikan dampak yang baik bagi semuanya.
Recent Comments